Antara Engkau dan DIA
Sebuah
mobil berhenti dilampu lalu lintas di mana berdiri seorang laki-laki yang cacat
dan berpakaian kumal. Ketika sedang menunggu lampu berubah menjadi hijau, seorang
laki-laki yang berada di mobil itu melihat pemandangan tersebut dg penuh rasa
haru dan merasakan dorongan yang kuat untuk memberikan sesuatu.
Kawan-kawannya
dalam mobil berkomentar bahwa pengemis itu hanyalah berpura-pura, bahwa
sebenarnya ia masih kuat, bahwa ada banyak peluang pekerjaan, dan mengapa kita
harus memberikan uang kepada orang yang masih mampu bekerja. Mereka menunjukkan
sikap yang tak percaya kepada pengemis tersebut.
Namun,
laki-laki di dalam mobil tadi tidak peduli dengan komentar teman-temannya . Ia
menurunkan kaca jendela mobilnya dan memberinya sejumlah uang yang dibalas
pengemis tadi dengan ungkapan terima kasih yang sangat dalam. Laki-laki tadi
sadar sepenuhnya bahwa apa yang barusan dilakukannya bukanlah antara ia dan
kawan-kawannya yang berada di dalam mobil, bukan pula antara ia dan pengemis
itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia lakukan itu adalah antara ia
dan Tuhannya.
Para
pembaca yang budiman, apakah Anda pernah mengalami kejadian seperti yang
dialami lelaki dalam cerita tersebut? Bagaimana biasanya respons yang Anda
berikan? Mungkin pada awalnya Anda Juga merasa kasihan, tetapi sering terdengar
suara lain di telinga Anda yang mengatakan bahwa ada kemungkinan Anda tengah
diperdaya oleh orang-orang ini. Bukankah mungkin saja uang yang Anda berikan
itu sebenarnya bukanlah untuk para pengemis itu, tetapi untuk para “ bos”
mereka yg boleh jadi hidupnya lebih makmur dibandingkan dengan Anda sendiri?
Pikiran-pikiran
semacam ini sering kali mencegah kita untuk melakukan kebaikan. Kita
sering kali takut kalau-kalau kebaikan kita disalahgunakan oleh orang lain.
Seorang
kawan pernah menasihati supaya saya jangan terlalu ramah kepada orang lain.
Kawan tersebut mengatakan bahwa dalam “ dunia yang kejam” seperti ini bersikap
ramah, mau memperhatikan, mendengarkan, dan membantu orang lain berarti membuka
peluang untuk diperdaya dan “diinjak-injak” oleh orang lain.
Kawan
yang lain menceritakan pengalaman buruknya karena melakukan kebaikan ini kepada
para bawahannya. Ia berulang kali menasehati saya untuk berlaku tegas pada
bawahan. “Berpeganglah pada aturan, mekanisme, dan prosedur. Jangan pernah
memberikan kebijaksanaan walaupun Anda menginginkannya karena bawahan akan
memandang itu sebagai kelemahan dan akan memanfaatkan kebaikan Anda itu untuk
kepentingan mereka sendiri,” demikian tegas kawan saya.
Seorang
kawan lain menasehati saya untuk menolak memberikan pinjaman uang kepada
orang-orang yang membutuhkan. Hal ini tampaknya sudah merupakan rahasia umum.
Kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari
menunjukkan bahwa betapapun orang-orang yang berutang itu berjanji
dengan sungguh-sungguh untuk membayar utang mereka, hal itu tinggallah janji
belaka, Kenyataannya , mereka tidak akan pernah membayar utang tersebut, Bahkan
analogi membayar utang itu adalah seperti dirampok! Sudah tentu sulit setiap
orang pasti akan menjauhinya.
Dalam
hidup kita senantiasa mendapatkan stimulus. Stimulus(rangsangan untuk
bersikap/bertindak) adalah segala sesuatu yang berada diluar diri kita.
Perbuatan orang lain, senyumannya, ataupun makiannya dapat menjadi stimulus
bagi kita. Lingkungan yang bising dan gaduh dapat menjadi stimulus. Gosip-gosip
ditelivisi dapat menjadi stimulus. Pendeknya segala sesuatu yang berada diluar
kita dapat menjadi stimulus bagi kita
Kita
memberikan respons terhadap stimulus yang berdatangan setiap saat. Kita tidak
dapat mengendalikan stimulus, tetapi kita dapat mengendalikan respons kita.
Menariknya,
suatu stimulus yang sama dapat melahirkan respons yang berbeda dari orang yang
berbeda. Dari respons inilah kita dapat menilai kualitas orang yang
bersangkutan. Seorang pemikir China
, I Tjing, mengatakan, “Stimulusnya sama sekali tidak penting, tetapi
respons yang kita berikan pada stimulus tersebut adalah segala-galanya.”
Sekali
lagi, yang menarik, semakin rendah tingkat spiritualitas seseorang,
semakin tinggilah dampak yang ditimbulkan oleh stimulus terhadap respons orang
tersebut.
Sebaliknya, semakin tinggi tingkat spiritualitas seseorang maka akan
semakin rendahlah dampak yang ditimbulkan oleh stimulus terhadap respons yang
ia berikan.
Bahkan pada saat spiritualitas sudah mencapai puncaknya maka
seolah-olah antara stimulus dan respons sudah tidak ada hubungannya lagi.
Oleh : Arvan Pradiansyah dishare oleh : salingnasehat.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar