Senin, 15 Oktober 2012

Antara Engkau dan DIA



Antara Engkau dan DIA

Sebuah mobil berhenti dilampu lalu lintas di mana berdiri seorang laki-laki yang cacat dan berpakaian kumal. Ketika sedang menunggu lampu berubah menjadi hijau, seorang laki-laki yang berada di mobil itu melihat pemandangan tersebut dg penuh rasa haru dan merasakan dorongan yang kuat untuk memberikan sesuatu.

Kawan-kawannya dalam mobil berkomentar bahwa pengemis itu hanyalah berpura-pura, bahwa sebenarnya ia masih kuat, bahwa ada banyak peluang pekerjaan, dan mengapa kita harus memberikan uang kepada orang yang masih mampu bekerja. Mereka menunjukkan sikap yang tak percaya kepada pengemis tersebut.


Namun, laki-laki di dalam mobil tadi tidak peduli dengan komentar teman-temannya . Ia menurunkan kaca jendela mobilnya dan memberinya sejumlah uang yang dibalas pengemis tadi dengan ungkapan terima kasih yang sangat dalam. Laki-laki tadi sadar sepenuhnya bahwa apa yang barusan dilakukannya bukanlah antara ia dan kawan-kawannya yang berada di dalam mobil, bukan pula antara ia dan pengemis itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia lakukan itu adalah antara ia dan Tuhannya.

Para pembaca yang budiman, apakah Anda pernah mengalami kejadian seperti yang dialami lelaki dalam cerita tersebut? Bagaimana biasanya respons yang Anda berikan? Mungkin pada awalnya Anda Juga merasa kasihan, tetapi sering terdengar suara lain di telinga Anda yang mengatakan bahwa ada kemungkinan Anda tengah diperdaya oleh orang-orang ini. Bukankah mungkin saja uang yang Anda berikan itu sebenarnya bukanlah untuk para pengemis itu, tetapi untuk para “ bos” mereka yg boleh jadi hidupnya lebih makmur dibandingkan dengan Anda sendiri?

Pikiran-pikiran semacam ini sering kali mencegah kita untuk melakukan kebaikan. Kita sering kali takut kalau-kalau kebaikan kita disalahgunakan oleh orang lain.

Seorang kawan pernah menasihati supaya saya jangan terlalu ramah kepada orang lain. Kawan tersebut mengatakan bahwa dalam “ dunia yang kejam” seperti ini bersikap ramah, mau memperhatikan, mendengarkan, dan membantu orang lain berarti membuka peluang untuk diperdaya dan “diinjak-injak” oleh orang lain.

Kawan yang lain menceritakan pengalaman buruknya karena melakukan kebaikan ini kepada para bawahannya. Ia berulang kali menasehati saya untuk berlaku tegas pada bawahan. “Berpeganglah pada aturan, mekanisme, dan prosedur. Jangan pernah memberikan kebijaksanaan walaupun Anda menginginkannya karena bawahan akan memandang itu sebagai kelemahan dan akan memanfaatkan kebaikan Anda itu untuk kepentingan mereka sendiri,” demikian tegas kawan saya.

Seorang kawan lain menasehati saya untuk menolak memberikan pinjaman uang kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal ini tampaknya sudah merupakan rahasia umum. Kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari  menunjukkan bahwa betapapun orang-orang yang berutang itu berjanji dengan sungguh-sungguh untuk membayar utang mereka, hal itu tinggallah janji belaka, Kenyataannya , mereka tidak akan pernah membayar utang tersebut, Bahkan analogi membayar utang itu adalah seperti dirampok! Sudah tentu sulit setiap orang pasti akan menjauhinya.

Dalam hidup kita senantiasa mendapatkan stimulus. Stimulus(rangsangan untuk bersikap/bertindak) adalah segala sesuatu yang berada diluar diri kita. Perbuatan orang lain, senyumannya, ataupun makiannya dapat menjadi stimulus bagi kita. Lingkungan yang bising dan gaduh dapat menjadi stimulus. Gosip-gosip ditelivisi dapat menjadi stimulus. Pendeknya segala sesuatu yang berada diluar kita dapat menjadi stimulus bagi kita

Kita memberikan respons terhadap stimulus yang berdatangan setiap saat. Kita tidak dapat mengendalikan stimulus, tetapi kita dapat mengendalikan respons kita.
Menariknya, suatu stimulus yang sama dapat melahirkan respons yang berbeda dari orang yang berbeda. Dari respons inilah kita dapat menilai kualitas orang yang bersangkutan. Seorang pemikir China , I Tjing, mengatakan, “Stimulusnya sama sekali tidak penting, tetapi respons yang kita berikan pada stimulus tersebut adalah segala-galanya.”

Sekali lagi, yang menarik, semakin rendah tingkat spiritualitas seseorang, semakin tinggilah dampak yang ditimbulkan oleh stimulus terhadap respons orang tersebut.

Sebaliknya, semakin tinggi tingkat spiritualitas seseorang maka akan semakin rendahlah dampak yang ditimbulkan oleh stimulus terhadap respons yang ia berikan.

Bahkan pada saat spiritualitas sudah mencapai puncaknya maka seolah-olah antara stimulus dan respons sudah tidak ada hubungannya lagi.
 Oleh : Arvan Pradiansyah dishare oleh : salingnasehat.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar