Kita Pasti Bahagia, Jika…
7 May 2012 | 21:03 Dibaca: 54 Komentar: 2 1 dari 1 Kompasianer menilai menarik
Ini adalah pertanyaan untuk calon ratu sejagat (entah miss
world atau miss universe). Mereka ditanya : “ sekiranya Anda dapat mengulangi
hidup Anda lagi dari permulaan, hal-hal apa yang ingin Anda ubah ? “. Salah
satu dari perempuan cantik itu berkata : “ aku tidak ingin mengubah apapun.
Bahkan kepahitan yang aku rasakan, tidak akan aku ubah. Sebab,
semua
peristiwa hidup yang aku jalani mengantarkan aku pada posisi sekarang ini “.
Jawaban yang sarat makna bersyukur dan kebahagiaan. Itu pertanyaan untuk ratu
sejagat. Dan pertanyaan untuk kita adalah : Apakah kebahagiaan itu ? bagaimana
cara mendapatkan serta mempertahankannya ?.
Apakah Kekayaan Menjamin Kebahagiaan ?
Penelitian Ed Diener, Psikolog dari University of Illinois,
menginformasikan kepada kita bahwa dari 100 orang terkaya yang dicatat Forbes
hanya sedikit yang mengatakan bahwa mereka bahagia dari rata-rata orang pada
umumnya. Sebagian besar mengatakan uang telah membuatnya menderita. Tidak
sedikit cerita tentang seorang jutawan yang mewariskan hartanya justru pada
orang yang tak dikenalnya. Ini membuktikan bahwa kekayaan justru membuatnya
hilang kepercayaan bahkan pada orang-orang terdekatnya. Semua orang dilihatnya
hanya ingin berteman karena harta yang ia miliki. Tidak ada ketulusan.
Kenaikan pendapatan (uang) membawa serta kenaikan
ekspektasi atau keinginan-keinginan baru. Dapat motor, ingin mobil. Dapat
mobil, ingin pesawat dan seterusnya. Uang hanyalah alat mencapai tujuan
kebahagiaan. Uang bukanlah solution of the problem. Uang bisa saja menjadi
part of the problem. Kekayaan tidak dengan sendirinya mendatangkan
kebahagiaan, sebagaimana kemiskinan tidak dengan sendirinya mendatangkan
penderitaan. Jika kekayaan tidak serta-merta mendatangkan kebahagiaan, mungkin
kesuksesan dapat mendatangkan kebahagiaan.
Ataukah Kesuksesan yang Menjamin Kebahagiaan ?
Sukses adalah mencapai sesuatu yang kita inginkan.
Kenyataannya, kita mengorbankan hal-hal yang indah dalam kehidupan seperti
kasih sayang, persahabatan, keimanan hanya untuk mengejar dan mempertahankan
kesuksesan. Apakah sukses menjamin kebahagiaan ? ternyata tidak. Begitu banyak
orang yang diakui kesuksesannya, tapi ternyata tidak bahagia. Malahan berujung
pada bunuh diri atau narkoba. Hidup bukanlah roda berputar yang mengaharuskan
ada yang dibawah dan ada yang diatas. Hidup seperti mendaki puncak gunung. Kita
bisa sama-sama diatas menikmati indahnya pemandangan. Tapi jika kita lalai,
kita bisa jatuh dan ditelan kabut kemunafikan.
Apakah untuk bahagia kita harus menderita dahulu di dunia.
Seperti bunyi pepatah : “ bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian “.
Tidak juga !. Memang, untuk bahagia kita memerlukan banyak kesenangan. Tapi
orang yang sedang menikmati kesenangan belum tentu bahagia. Bahagia mempunyai
pengaruh yang lebih lama, terasa sampai dihati dan berkaitan dengan
kejiwaan/ruhaniah. Sedangkan senang hanya bersifat sementara dan berkaitan
dengan jasmani/tubuh. Jika kita hanya mengejar kesenangan duniawi, Kita tidak
akan pernah mencapai rasa puas, yang ada malah bosan. Ambil contoh Lionel
Messi. Setelah mendapatkan gelar pemain terbaik tiga tahun berturut-turut,
apakah ia puas. Takkan pernah, karena ukuran kepuasaan makin lama, makin naik.
Jika bukan kurang puas, ia bosan. Ketika kita mengejar kesenangan jasmani, kita
terus-menerus menerima rangsangan indrawi. Lama-kelamaan rangsangan itu tidak
lagi menimbulkan perasaan apapun. Kita harus mencari kebahagiaan hakiki !.
Tujuan Hidup adalah Kebahagiaan
Socrates berkata : Kebahagiaan adalah puncak dari tujuan
terakhir, atau summum bonum. Metodenya seperti ini ; mengapa anda
kuliah ? karena ingin mendapat pekerjaan. Mengapa anda ingin mendapat pekerjaan
? agar dapat menafkahi keluarga. Mengapa anda ingin menafkahi keluarga ? karena
ingin mencintai dan dicintai. Mengapa Anda ingin dicintai dan mencintai ?
karena ingin dicintai Tuhan. Mengapa Anda ingin dicintai Tuhan ? karena ingin
bahagia. Mengapa Anda ingin bahagia ? karena ingin bahagia. Jadi, puncak
dari tujuan terakhirnya adalah ingin dicintai Tuhan. Puncak kebahagiaan
tertingginya adalah ketika ia dicintai Tuhan. Kecerdasan, kesehatan, kekayaan,
cinta keluarga dan sahabat hanyalah anak tangga (kebaikan,kesenangan) menuju
kebahagiaan hakiki.
Kebahagiaan adalah Perspektif
Musibah itu pasti, penderitaan hanyalah perspektif kita
dalam memandang sesuatu. Ada orang
yang mendapat musibah seperti kehilangan kedua kaki, tapi tidak memandangnya
sebagai suatu penderitaan. Malahan ia bersyukur masih dapat hidup dan
tersenyum. Sebaliknya, keberuntungan itu pasti, kebahagiaan adalah perspektif
kita dalam memandang sesuatu. Ada
orang yang beruntung mendapat hadiah kipas angin, tapi ia menderita karena
tetangganya mendapatkan AC. Jadi, musibah dan keberuntungan itu pasti ada dan
berasal dari sesuatu yang ada diluar kemampuan kita (faktor eksternal). Sementara
penderitaan dan kebahagian adalah perspektif kita memandang sesuatu yang
terjadi pada kita (faktor internal).
Karena kita adalah manusia, wakil alam semesta, maka sudah
sewajarnya kita tidak terlalu terpengaruh pada faktor eksternal-nya kita saja.
Yang harus kita lakukan adalah pemantapan cara memandang sesuatu atau faktor
internal-nya kita. Caranya adalah memperbanyak khazanah pengetahuan (keluwesan
perspektif) dan tetap berpikir positif. Ketika kita bahagia, kita belajar lebih
efektif, berpikir lebih kretaif, toleran pada setiap perbedaan. Karena
perbedaan hanyalah ketidaksamaan cara pandang. Saya bisa saja melihat pelangi
dari sini, tapi nun jauh disana sebagian lainnya tak dapat melihatnya. Ketika
kita bahagia, kita peka terhadap sosial dan ingin berbagi kebahagiaan.
Kebahagiaan dalam Perspektif Agama
Dalam ajaran budha diajarkan untuk mengikis penderitaan
dengan mengurangi keinginan, hasrat atau hawa nafsu untuk mengejar nirvana. Dan
meditasi dapat membantunya. Sementara agama yahudi mengajarkan bahwa untuk
mencapai kebahagiaan tidak melulu harus menghilangkan keinginan. Cukup mematuhi
10 larangan Tuhan dan taurat. Agama nasrani mengajarkan belas kasih pada
para penganutnya. Karena penjahat terjahat sekalipun ingin diperlakukan baik.
Maka berbuat baiklah kepada semua orang.
Dalam agama islam kita diwajibkan saling memperingati akan
pentingnya meraih kebahagian minimal 10 kali dalam sehari. Perihal tersebut,
ada dalam lafazh adzan dan iqamah, Hayya ‘alal falah (marilah meraih
kebahagiaan). Dan setelah lafazh tersebut, lafazh adzan dalam mahzab ahlut bait
mengucapkan hayya ‘ala khayril ‘amal ( marilah berbuat baik). Dalam
Al-Qur’an Tuhan berfirman : “ Katakanlah, tidak sama keburukan dan kebaikan,
walaupun banyaknya keburukan memesona kamu. Bertakwalah kamu kepada Allah,
supaya kamu berbahagia. “ (QS. 5:100). Nabi Muhammad SAW. besabda : “ Barang
siapa membahagiakan seorang mukmin, ia telah membahagiakan aku. Barang siapa
membahagiakan aku, ia telah membahagiakan Allah Swt. “. Itulah beberapa
anjuran bahkan keharusan untuk meraih kebahagiaan dalam berbagai perspektif
agama.
Agar Kita Berbahagia
Siapa yang tidak ingin kehidupannya bahagia ? Itulah tujuan
hidup. Di dunia, pun di akhirat kelak. Inilah alasan mengapa banyak manusia
menghabiskan uang, tenaga dan waktunya untuk pergi ke psikiater, seminar,
liburan, berinteraksi, berorganisasi, ke tempat ibadah atau untuk sekedar curhat.
Apalagi di kota-kota besar. Mereka perlu seorang motivator untuk meningkatkan
motivasinya dalam mencapai kebahagiaan. Padahal, motivator terbaik adalah diri
sendiri. Kata kucncinya adalah bagaimana kita mengingikan apa yang kita
dapatkan. Bukan mendapatkan apa yang kita inginkan. Syukur, akan mendatangkan
syukur-syukur lainnya.
Sekali lagi kebahagiaan adalah kumpulan persfektif.
Kumpulan persfektif itu yang membentuk sikap dan mengeras menjadi karakter.
Mengapa orang gila yang makan dari tempat sampah tidak terserang penyakit ganas
ketimbang para pejabat. Karena pola pikir mereka yang tidak muluk-muluk seperti
pejabat. Perspektif juga menentukan usia dan kesehatan. Kita pasti bahagia,
jika kita memandang sesuatu yang terjadi pada kita dengan benar dan baik.
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan meminta Anda untuk memejamkan mata Anda
barang sebentar dan bayangkan orang-orang terkasih dalam hidup Anda yang
mungkin saja selama ini telah Anda abaikan. Bayangkalah mereka dengan penuh
kasih.
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam.
Referensi :
1. Rakhmat,
Jalaluddin. 2008. Meraih Kebahagiaan. Bandung
:Remaja Rosdakarya Offset.
2. Hartono Tasir
Irwanto, dalam artikel ;
http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/28/bahagia-itu-pilihan/.
Disebarluaskan juga oleh : mammpirdullu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar